Petang itu, jumat (28/9) Masliani (25) masih terkulai lemas di salah satu ruangan Puskesmas Pantoloan, Palu. Dirinya masih melawan rasa sakit setelah berjuang selama satu jam lebih untuk melahirkan buah hati keduanya. Zhifa, nama bayi mungil dengan berat 2,5 kilo gram itu.
Kebahagiaan Masliani tiba-tiba berubah menjadi kepanikan yang luar biasa. Ranjang tempatnya memeluk Zhifa terguncang keras. Tabung oksigen dan meja di samping ranjangnya terpental tak beraturan. Ditengah ketakutan ia memeluk erat Zhifa seraya mengucap kalimat dzikir.
Diluar puskesmas, jeritan tsunami terdengar bersahutan. Adik Masliani, Mita (17) berlari masuk keruangan. Ia berinisiatif menggendong Zhifa untuk menyelamatkan diri keluar. Suami Masliani, Aran (26) yang saat itu berada di depan Puskesmas menggendong anak pertamanya Zhafa (3), menarik Masliani dan berlari ke bukit Ova.
“Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan. Malam itu, walaupun kondisi gelap gulita, kami memutuskan mengungsi ke Dusun Wombo Kalonggo bersama ratusan warga lainnya,” kata Masliani.
Kesedihan Masliani belum berakhir, dari suaminya ia mendapatkan kabar bahwa rumahnya tak aman lagi untuk ditempati. Mau tak mau ia harus tinggal di pengungsian dengan kondisi seadanya. Bagi Zhifa sendiri, ini merupakan sambutan pedih kelahirannya. Jangankan popok, pakaian pun ia tidak punya.
Empat hari setelah bencana, Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN datang membawa bantuan. Tak hanya mendirikan dapur umum bagi 1000 pengungsi di lokasi tersebut. YBM PLN juga membawa obat-obatan, tenda, pakaian dan popok bayi.
“Saya menangis bahagia, tak hanya pakaian bayi yang mereka bawakan, mereka juga memberikan penerangan lampu bagi kami. Mulai malam itu Zhifa tak lagi ketakutan di kegelapan malam. Tak lagi menggunakan pakaian seadanya lagi. Mereka memeluk kami saat semangat hidup kami mulai luntur,” katanya.
Masliani tak bisa membayangkan, apa jadinya Zhifa jika YBM PLN tidak hadir. Karena menurutnya tak mungkin Zhifa terus menerus berada dalam kegelapan saat malam. Tak mungkin juga terus menerus menggunakan pakaian seadanya untuk menghangatkannya di kala malam.
“Saya ingat betul tiga malam disini, setiap malam gelap. Suami saya sibuk mencari makanan, pakaian dan apapun yang dapat membuat kami bertahan. Yang saya lakukan setiap malam hanya mendekap Zhifa agar ia tak ketakutan,” katanya.
Ucapan terima kasih kepada YBM PLN juga terlontar dari Aini (24) yang terpaksa harus melahirkan anak keduanya lima hari paska gempa di pengungsian tersebut. Beruntung selain ada bidan dusun yang membantunya, dengan adanya bantuan YBM PLN, ia tidak kebingungan mencari makanan dan pakaian bagi bayinya.
“Kami cukup nyaman disini, bantuan yang diberikan YBM PLN lebih dari cukup. Sekarang kami akan berusaha optimis untuk terus berjuang hidup. Kami akan mencoba ikhlas dengan berserah diri. Kami yakin bisa kembali bangkit seperti sedia kala,” ucapnya.