Gas Lapangan Kepodang Terus Mundur

(Jakarta, 2/3) Negosiasi jual-beli gas lapangan Kepodang untuk PLTGU milik PLN di Tambaklorok Semarang yang melibatkan produsen gas, PLN, BP-Migas, BPH-Migas dan grup Bakrie yang dimulai sejak akhir tahun lalu sampai hari ini belum berhasil mencapai kesepakatan.

Pada akhir 2008, PLN dan produsen gas yaitu Petronas Carigali sudah menyepakati jumlah gas yang akan diproduksi yaitu 354 bcf, dengan jadwal gas masuk kuartal ke-4 2011, harga di bawah $5 per mmbtu dengan titik serah di pembangkit Tambaklorok. Pengaliran gas dari sumur ke pembangkit dilakukan oleh Petronas. Kesepakatan tersebut diajukan ke Pemerintah untuk proses persetujuan dari BP-Migas sebelum dituangkan menjadi kontrak jual-beli gas.

Pada 2009, pemegang konsesi pipa-gas Kalimantan Jawa (Kalija) yaitu grup Bakrie mengusulkan agar pengaliran gas dari sumur-gas ke pembangkit PLN dilakukan melalui apa yang disebut dengan Kalija tahap-1, yaitu sepenggal pipa bawah laut antara sumur gas di sebelah utara semenanjung Muria ke pembangkit listrik di Semarang. Setelah diskusi yang sangat memakan waktu, proposal ini disetujui Pemerintah pada akhir 2010, dan kepada PLN dijanjikan bahwa PLN tetap membeli gas di titik serah pembangkit listrik dengan harga yang sudah disepakati dengan Petronas.

Keterlibatan grup Bakrie dalam transaksi antara Petronas dengan PLN menyebabkan mundurnya realisasi penyaluran gas ke PLN, diprediksi menjadi kuartal-4 2014 (mundur 3 tahun dari rencana semula). Selain itu, karena konsesi Petronas di lapangan Kepodang akan berakhir pada 2021, maka jumlah gas yang diproduksi turun menjadi 290 bcf.

Dengan demikian PLN memperkirakan bahwa harga gas kemungkinan akan lebih dari $5 per mmbtu, yang disebabkan oleh berkurangnya volume gas yang ditransaksikan, naiknya biaya pengembangan sumur akibat inflasi, serta munculnya risiko kegagalan pembangunan pipa-gas karena proses ini tidak dikendalikan oleh produsen gas. Supervisi penyelesaian pipa gas pun beralih dari BP-Migas ke BPH-Migas. PLN juga khawatir bahwa biaya pengaliran gas oleh pemegang konsesi pipa Kalija akan lebih tinggi dibanding kalkulasi biaya yang dibuat oleh produsen gas. Sebab biaya financing pembangunan pipa gas yang tidak terintegrasi dengan sumur gas bisa dipastikan akan lebih mahal daripada kalau pipa tersebut dibangun terintegrasi dengan sumur gas. Akhirnya yang harus menanggung semua kenaikan biaya ini adalah PLN, dan pada gilirannya akan menaikkan subsidi listrik.

PLN berharap bahwa kasus gas Kepodang ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh stake holder kelistrikan. PLN ingin agar Pemerintah menggariskan terjadinya transaksi langsung antara PLN dengan produsen gas, tanpa melibatkan fihak ketiga. Jika BP-Migas ingin agar biaya pembangunan pipa penyalur gas tidak masuk dalam komponen cost recovery, bisa saja biaya tersebut ditanggung oleh PLN dalam bentuk pembayaran angsuran per mmbtu ke produsen gas, tetapi hendaknya pembangunan pipa gas tetap dilakukan oleh produsen gas dalam satu kesatuan kendali manajemen dengan pembangunan sumur gas sehingga biaya financing pipa tersebut minimal.

Saat ini PLN sudah berhasil menyepakati beberapa transaksi baru dengan produsen gas lain, dan menunggu persetujuan Pemerintah. PLN khawatir, ada fihak ketiga yang berusaha mengajukan proposal ke Pemerintah untuk ikut terlibat dalam transaksi-transaksi baru tersebut, dan kasus lapangan Kepodang bisa terulang kembali.

 

____________________

Nur Pamudji
Direktur Energi Primer
PT PLN (Persero)