Nur Pamudji: Posisi Kami Dilematis

Pembahasan perubahan anggaran antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat PT PLN (Persero) terseret pusaran debat di Senayan. Mereka dituding tak efisien mengelola bisnisnya karena mengajukan perubahan anggaran subsidi listrik hingga dua kali lipat lebih, dari Rp 40,5 triliun menjadi Rp 93 triliun. Komisi Energi DPR menolak usul itu dan hanya mengabulkan subsidi Rp 65 triliun.

Saat berkunjung ke kantor Tempo, Kamis (29/3), Direktur Utama PLN Nur Pamudji memastikan usulnya yang dinilai tak masuk akal merupakan hasil dari perhitungan rasional. “Semua ada sebab dan akibatnya,” katanya.

Sejumlah direksi lain ikut hadir mendampingi Nur Pamudji. Mereka di antaranya Direktur Keuangan Setio Anggoro Dewo, Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko Murtaqi Syamsuddin, Direktur Operasi Jawa-Bali I G.A. Ngurah Adnyana, Direktur Operasi Indonesia Barat Moch. Harry Jaya Pahlawan, Direktur Operasi Indonesia Timur Vickner Sinaga, serta Direktur Pengadaan Strategis Bagiyo Riawan. Diskusi berlangsung menarik disertai beberapa pernyataan off the record.

Apa sebab PLN meminta tambahan subsidi tistrik yang sangat tinggi?

Penyebabnya pasokan gas. Ini selalu jadi masalah setiap tahun. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menghitung PLN memperoleh gas 373 terra British thermal unit/BTU (sekitar 373 miliar kaki kubik—Red). Kami monitor sampai akhir 2011, ternyata yang bisa kami peroleh cuma 351 terra BTU.

Mengapa pasokan gas merosot?

Proyek FSRU (terminal apung penerima dan pengolah gas alam cair—Red) Teluk Jakarta mundur. Itu seharusnya memasok 200 miliar BTU per hari mulai September tahun lalu. Pasokan dari beberapa sumur juga menurun secara alami. Seperti Lapangan Glagah Kambuna, Sumatera Utara, dari awal masih mengalirkan sekitar 34 juta kaki kubik per hari, sekarang cuma sekitar 12 juta kaki kubik per hari. Kemudian proyek Belawan, yang dijadwalkan masuk triwulan keempat ini, sekarang ternyata dibatalkan. Jadi semua yang meleset itu diambil alih bahan bakar minyak. Ini efeknya menambah subsidi Rp 8,28 triliun.

Sisa tambahan subsidi lainnya untuk apa?

Proyek pembangkit listrik uap batu bara 10 ribu megawatt motor. Seharusnya tahun ini sudah bisa selesai 5.192 megawatt. Sekarang baru selesai 3.100 megawatt. Kekurangan 2.000 megawatt dari yang semestinya dibakar batu bara harus menggunakan solar. Subsidi tamhah Rp 26 triliun.

Pemasukan PLN yang tak sesuaidengan target juga ada pengaruhnya?

Pada waktu menyusun APBN, kami perkirakan tumbuh 9 persen, sehingga penjualan listrik tahun ini sekitar 173,7 terawatt hour. Ternyata realisasi penjualan tahun lalu hanya 156 terawatt hour dari rencana 159 terawatt hour. Tahun ini kami perkirakan penjualan hanya 170,3 terawatt hour. Karena penjualan turun, maka pendapatan turun, sebesar Rp 6,98 triliun. Lalu ada perubahan asumsi Indonesia crude price, dari US$ 90 menjadi US$105 per barel. Ini naiknya Rp 4,7 triliun. Belum lagi perubahan asumsi kurs dari Rp 8.900 menjadi Rp 9.000 per dolar AS.

Mengapa proyek pembangkit 10 ribu megawatt tak kunjung beres?

Posisi kami dilematis. Kami memilih hanya menerima pembangkit yang 100 persen memenuhi syarat di kontrak daripada menerima tapi tak sesuai dengan spesifikasi. Yang susah diprediksi adalah berapa lama pengujian pembangkit berlangsung. Paiton, misalnya, pada Juli 2011, trafonya terbakar saat dites. Ketika trafo baru dipasang, gantian rotornya kena. Begitu pula di Pembangkit Amurang, ketika dites, kondensornya pecah.

Apakah karena semua pembangkit ini buatan Cina?

Kami memang tak punya pengalaman menghadapi kondisi seperti itu. Kami terbiasa dengan pembangkit buatan Jepang atau Eropa, yang kalau jadwal tesnya tiga bulan benar-benar terealisasi. Pembangkit buatan Cina ini bukan berarti tak jalan, semua berjalan, cuma jadwalnya mundur. Lebih sexing mengalami gangguan. Kini semua kontraktornya sudah kena penalti 10 persen dari nilai kontrak.

Jadi, berapa subsidi listrik yang dikabulkan?

Rp 65 triliun, ditambah Rp 23 triliun yang bisa diambil dari cadangan risiko fiskal.

Apa dampak subsidi yang tak sebesar usul PLN itu?

Setio Anggoro Dewo: Investasi pasti berubah. Kalau kemarin usulan kami Rp 93 triliun, investasi bisa Rp 80 triliun. Tapi, karena dipotong, kami harus menghitung pengaruhnya terhadap pertumbuhan listrik yang akan mempengaruhi operational expenditure (opex) dan capital expenditure (capex). Nah, untuk capex, harus dilihat juga perjanjian utang luar dan dalam negeri kami. Yang jadi masalah sekarangbukan global bond atau local bond, melainkan perjanjian kami, yakni pemerintah dan Bank Dunia, yang namanya debt service coverage ratio (DSCR). Ini yang sedang kami hitung.

Nur Pamudji: DSCR atau ebitda PLN itu besarnya harus satu setengah kali kewajiban membayar utang. Tahun ini kewajiban kami membayar utang Rp 18 triliun, termasuk bunga. Ebitda alias penghasilan kotor itu dari pendapatan PLN dikurangi pengeluaran. Penerimaan PLN itu dari pelanggan dan public service obligation.

Seberapa besar kenaikan konsumsi solar akibat defisit gas dan tak rampungnya proyek 10 ribu megawatt?

Usulan kami untuk perubahan anggaran 7,5 juta kiloliter, sebelumnya dalam anggaran 4,4 juta kiloliter. Kini, dengan subsidi tadi, kami perkirakan 6 juta kiloliter.

PLN dikritik karena membangun pembangkit-pembangkit berbahan bakar gas padahal gasnya tak ada….

Enggak benar. Kami selalu membangun pembangkit di tempat yang ada gasnya. Pertama di Medan, dulu kami terima dari lapangan Kambuna 100 juta kaki kubik per hari. Tapi kemudian produksi menurun. Ini sudah diperkirakan, makanya disiapkan penggantinya berupa FSRU Belawan. Begitu pula di Tanjung Priok dan Muara Karang, yang berasal dari lapangan Offshore North-West Java. Ini juga menurun, dan dipersiapkan proyek FSRU Teluk Jakarta. Muara Tawar juga sumber gasnya dari lapangan Grissik dan Tambak Lorok dari Kepodang. Pembangkit Gresik dari lapangan BP-Arco di Bali North yang menurun dan akan digantikan Terang Sirasun Bat ur. Jadi, semuanya sudah ditata dengan baik.

Mengapa FSRU kerap motor? Apakah ada kesengajaan agar penggunaan solar tetap tinggi?

Saya keberatan terhadap tuduhan itu. Bahan bakar minyak itu hanya cadangan. Yang terpenting, bagi kami, listrik terpenuhi. Untuk memenuhinya menggunakan tenaga batu bara, gas, panas bumi, dan air.

Kabarnya banyak pihak luar, termasuk sebagian anggota DPR, suka mengatur proyek di PIN?

Sejak zaman Pak Fahmi Mochtar dan Pak Dahlan Iskan (keduanya berurutan menjadi Direktur Utama PLN sebelum Nur Pamudji) sudah ada pembenahan sistem pengadaan di PLN. Kami mampu menurunkan biaya pengadaan trafo, misalnya trafo 500 kilovolt itu dulu harganya Rp 110 miliar per unit. Kami ubah pengadaannya bisa turun menjadi Rp 67 miliar. Itu konsisten kami lakukan, dan sekarang harga trafo yang sa ma hanya Rp 36 miliar.

Bagaimana caranya?

Dulu, ketika akan membeli trafo, kami umumkan ke publik, lalu banyak yang menawarkan berbagai merek. Harga yang terbentuk akhirnya, ya tadi, Rp 110 miliar. Kemudian kami ubah. Kami beli langsung dari produsennya. Jadi kami atur, tidak boleh orang yang tidak punya pabrik menawarkan trafo.

Ada kiat lain?

Skema pembayaran juga kami ubah. Dulu dengan rupiah, sekarang dengan dolar Amerika atau euro untuk menghindari risiko kurs. Dulu kami bayar setelah trafo beroperasi. Sekarang, begitu trafo selesai diproduksi, kami bayar separuh. Dengan cara itu, harga bisa turun. Ini juga kami terapkan pada pengadaan suku cadang dan peralatan lainnya.

Bagaimana bila barangnya rusak?

Setelah membeli langsung dari produsennya, kalau barang rusak, mereka pasti langsungganti. Dulu, lewat perantara, susah. Mereka pasti berkelit macam-macam.

Pasti banyak yang tidak suka pembenahan tender PLN itu….

Kami terbiasa dengan peraturan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yang sekarang berlaku. Itu bagus, enggak salah. Tapi, kalau ada yang lebih baik, why not?

Sumber: Majalah Tempo Edisi 2-8 April 2012